Selasa, 07 April 2009

Rencana Pembentukan Bapindo Baru & Kemungkinan Implikasi Risiko Fiskalnya” (*Model Bank Pembangunan di Jerman)

Pembahasan Diskusi :
1. Danareksa sebagai kandidat Bank Pembangunan Indonesia
2. Danareksa akan menjadi Holding Company Bank-Bank BUMN
3. Arsitektur dan Struktur Perbankan di Indonesia
4. Beleid SPP & Kemungkinan Danareksa Menjadi Bapindo
5. Model Pengembangan Bank Pembangunan di Jerman
• Struktur Perbankan di Jerman
• KFW Jerman : Karakteristik dan Operasionalnya
• DSGV – Sparkassen-Finanzgruppe
• Landesbanken – Nord Rhein-Westphalia (NRW) Bank
6. Kemungkinan Risiko Fiskal Terkait dengan Pembentukan Bapindo Baru

Diskusi dimulai dengan pemaparan presentasi mengenai kemungkinan Pemerintah dalam hal ini diwakili Kementerian Negara BUMN mendirikan Bank Pembangunan (Development Bank) Indonesia dengan PT. Danareksa sebagai kandidat terkuat untuk dijadikan Bapindo mengingat peran PT. Danareksa sebagai investment bank selama ini. Namun masih dipertanyakan model Bapindo yang seperti apa yang dikembangkan terhadap PT. Danareksa yang notabene tidak sama dengan bank.

Dilanjutkan dengan kemungkinan lain Pemerintah menjadikan PT. Danareksa sebagai perusahaan induk (holding) bagi bank-bank BUMN. Sesuai dengan Peraturan Bank Indonesia (PBI) No. 8/16/PBI/2006 yang melarang Bank Holding Company melakukan kegiatan usaha (bersifat komersil) selain menjadi pemegang saham bank.

Lebih jauh lagi pemaparan mengenai model pengembangan Bank Pembangunan di Jerman yang telah berhasil mengalang dana untuk pembangunan di negara tersebut. Mulai dari sektor perbankan yang terdiri dari 3 kelompok utama yakni : bank komersial (commercial banks) yang dikuasai swasta, public sector saving bank dan landesbanken, serta bank koperasi (cooperative banks). Juga dipaparkan tentang KFW di Jerman sebagai media penjual saham-saham perusahaan yang diprivatisasi yang nantinya menghasilkan dana besar yang merupakan hasil dari penjualan saham pemerintah yang sukses dijual pada harga yang tinggi.

Sesi Tanya Jawab dan Pemberian Masukan-Masukan :

1. Bapak Eko (Bank Mandiri)
“Saya ingin menambahkan mungkin bisa diperkaya masalah penanganan non performing loadnya yang merupakan warisan dari sewaktu kita masih memiliki Bank Pembangunan, itu yang kira-kira selama ini saya belum mendapat kajian / masukan apabila kita nanti punya Bank Pembangunan lagi kita menjadi tahu bagaimana solusi penanganannya karena kita ketahui bahwa konsep Bank Pembangunan itu lebih banyak kepada hal-hal yang bersifat Agents of Development jadi itu sangat berpotensi sekali untuk timbulnya NPL. Pengalaman juga kebetulan saya dulu dari delegasi yang setelah jadi Bank Mandiri sebelumnya saya adalah delegasi di Bapindo, saya mendapat pengalaman bahwa sebenarnya Bapindo itu pada akhirnya tidak berjalan dengan baik karena ada perubahan mekanisme menjadi Bank Umum dimana harus menjalankan fungsi Bank Komersial , sedangkan dari segi pendanaan Bapindo sangat solid karena merupakan partner dari beberapa Institusi dari luar seperti IDB, World Bank dan sebagaimana lembaga pendanaan lain-lainnya dimana kita membiayai proyek-proyek yang betul-betul mempunyai implikasi pembangunan yang kontribusinya sangat strategis bagi negara kita seperti membangun bendungan, pembangkit listrik segala macam dan sekarang kondisi seperti itulah yang harus dipikirkan bahwa pemerintah sudah saatnya untuk mendirikan suatu Bank Pembanguan.”

2. Bapak Hinsa (PKPN)
Jika dikaitkan langsung Danareksa menjadi Bank Pembangunan Indonesia berarti kalau bicara bank sebagai duta depository ini ada 2 hal yang menarik disini. Pertama kita ketahui bahwasanya Danareksa itu merupakan investment banking dan bukan merupakan bank tetapi mempunyai etika bisnis sebagai penjamin emisi dan investment management. Itulah fungsi utama dari PT. Danareksa yang kemungkinan akan dijadikan Bank Pembangunan Indonesia.

Padahal perlu ketahui, di dunia ini sebenarnya sistem perbankan yang dianut itu ada 2 yakni “Universally Banking“ yaitu dimana suatu negara menganut bahwa bank itu bisa bertindak juga sebagai penjamin emisi sedangkan bisnis bisa dilakukan oleh negara yang menganut universally banking. Negara kita dari tahun 1977 ketika pertama kali pasar modal diaktifkan dengan peluncuran semen cibinong go public sampai dengan tahun 1995 itu menganut sistem universally banking, ini berarti pada jaman dahulu bapindo pernah menjadi penjamin emisi begitu pula dengan bank umum negara, dan karena selama 10 tahun perkembangan pasar modal kita terasa lambat, akhirnya negara kita beralih mengikuti Amerika Serikat yang menganut “Glastigel Eight” yang secara eksplisit bisnis dan perbankan disana (bisnis investment banking) dipisahkan. Jadi bank disana tidak boleh bertindak sebagai penjamin emisi, intinya dari tahun 1995 sampai dengan sekarang sebenarnya kita sudah mengikuti glastigel eight seperti Amerika Serikat, sistem ini digunakan oleh Amerika Serikat pada tahun 1933 karena negara itu mengalami masalah depresi tetapi kalau di Eropa memang masih menggunakan Universally Banking, sehingga bank bisa bertindak sebagai penjamin emisi.

Oleh karena itu kalau PT. Danareksa mau dijadikan Bank Pembangunan Indonesia berati kita akan meninggalkan glastigel eight dan memasuki era universally banking.

3. Bapak Firdaus (Bank Indonesia)
Saya juga melihat 2 kondisi, pertama Danareksa sebagai Bank Pembangunan Indonesia dan yang kedua Danareksa sebagai Bank Holding Company, kalau kita menyimak apa yang disampaikan Pak Hinsa bahwasanya Danareksa bukan bank dan tidak mempunyai pengalaman sebagai sebuah bank sehingga akan mengalami kesulitan kalau nantinya beroperasi sebagai bank dan bahkan dapat menimbulkan risiko-risiko yang dampaknya tidak kecil bahkan lebih besar. Dan apabila dapat dirubah dengan menjadikan bank maka efeknya pemerintah harus menyediakan dana sebesar 3 triliun itu tadi dan harus memenuhi berbagai persyaratan sehingga akan memakan waktu / proses yang sangat panjang.

Oleh karena itu, cara yang paling mudah dilakukan saat ini adalah mengkonversi bank yang sudah ada, bisa Bank Mandiri misalnya atau bank mana saja yang berubah fungsinya / orientasinya yang tadinya dari bank umum menjadi Bank Pembangunan Indonesia. Jadi itu sebenarnya cara yang paling mudah yakni dengan cara memperkuat permodalannya bukan hanya 3 triliun tetapi mungkin lebih. Dan juga karena Bank Pembangunan Indonesia sifatnya harus membiayai dana-dana jangka panjang, dia tidak bisa menanggung semua risiko yang ada karena terlalu besar sehingga perlu adanya pembagian share dengan masyarakat misalnya dibuat terbuka bagi masyarakat sehingga dapat mengurangi risiko-risiko yang tadi disampaikan oleh Pak Eko dari Bank Mandiri. Dalam prosesnya itu ada semacam gabungan dimana dia menyerap dana bukan hanya dia salurkan sendiri tetapi bisa melalui BPD-BPD dibawahnya dan juga mengkoordinasi BPD-BPD yang ada itu untuk mencari dana-dana jangka panjang di pasar sebagai dana investasi.

Kemudian mengenai pembentukan Danareksa sebagai Holding Bank Company, dalam hal ini PBI No. 8 /2006 disebutkan bahwa Bank Holding Comopany itu tidak boleh melakukan kegiatan usaha selain menjadi pemegang saham bank, artinya dia tidak boleh memiliki usaha lain walaupun sebagai penjamin emisi / investment bank jadi dia murni fungsinya adalah sebagai pengawas saja sehingga dia harus melepas sama sekali fungsi yang sudah ada.
Dan terkait risiko fiskal, kemungkinan yang akan timbul adalah kredit macet yang bisa menjadikan harga obligasi yang diterbitkan oleh pemerintah jatuh sehingga bisa menjadi beban pemerintah dalam APBN.

4. Bapak Loso (Staf Khusus Menteri Negara BUMN)
Yang pertama kita pisahkan dulu konsep policy bank terhadap single person policy karena dari kajian kita yang cukup mendalam kita bisa menuju kepada suatu konklusi bahwa kebijakan single person policy sebenarnya barang kali bukan kebijakan buat kita dan pada saat kita diskusikan dengan Gubernur BI dan Deputi Gubernur BI kita sudah tunjukan beberapa aspek yang terkait dengan kebijakan itu dan memang kenapa akhirnya peraturan ini berlaku kepada kita?, hal itu karena dianggap agar seolah adanya national treatment antara pemegang saham pemerintah dan pemegang saham asing.

Kalau kita melihat praktis di negara lain seperti Thailand, disana juga ada semacam single person policy tetapi munculnya pada segmen/sektor sehingga pemerintah disana punya bank tetapi pada sektor yang berbeda-beda.
Jadi dalam konteks itu kenapa pada akhirnya muncul istilah holding ? Karena kalau kita melihat dari esensi single person policy dengan adanya Bank Holding Company itu tidak memecah aturan itu. Sebenarnya yang melanggar itu adalah berubahnya fungsi dari bank pemerintah menjadi holding, itu juga jadi sebuah kompromi bagi Bank Indonesia dengan Pemerintah.

Nantinya apabila kita bisa membuat Undang-Undang Khusus tentang Bank Pembangunan Indonesia diharapkan bisa mengikuti sistem perbankan yang diterapkan di negara Jerman yang posisinya kuat. Namun kalau kita ingin membuat tandingan KFW-nya Jerman di Indonesia seperti yang tadi disampaikan maka kita harus puas dengan kondisi transisional yang ada di Indonesia. Pertama KFW didirikan atas dasar Undang-Undang sehingga harus diikuti pula oleh kita, padahal coba anda bayangkan waktu yang diperlukan untuk membuat Undang-Undang saja cukup lama dan butuh proses sehingga menjadi suatu kesulitan pula. Akan tetapi esensi dari Undang-Undang ini adalah untuk mempertegas posisi/kedudukan dari lembaga ini agar mempunyai open status, inilah yang penting dan harus diwujudkan sehingga ada suatu penjaminan dari Pemerintah.

0 komentar:

Template by: Abdul Munir Admin: Clodi