Senin, 06 April 2009

Pro Poor Expenditure Policy

Kebijakan Belanja Negara yang bersifat Pro Poor sebenarnya telah tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah 2005-2009, akan tetapi belum secara terperinci dan belum dalam angka kuantitatif.

Salah satu strategi dalam pengentasan kemiskinan selain melalui Pertumbuhan ekonomi yang dinamis, layanan sosial yang memadai, adalah melalui Belanja Negara yang dikhususkan dalam program-program pengentasan kemiskinan.

Purchasing Power Parity (PPP) adalah daya beli dari uang yang dimiliki oleh kapita didasarkan pada satu mata uang asing (biasanya didasarkan pada US$). Apabila ternyata ada di bawah indeks Purchasing Power Parity, maka kapita tersebut dapat dikategorikan miskin.

di Indonesia, kriteria miskin selain dari kriteria BKKBN dan BPS, juga memakai kriteria PPP dari Chen dan Ravallion dimana:
a. PPP US$ 1 per hari=Rp 97.218,00 per bulan per kapita
b. PPP US$ 2 per hari=Rp 194.439,00 per bulan per kapita

Terlalu sulit bagi kita untuk menerjemahkan definisi Pro Poor Growth yang kebanyakan diterjemahkan secara akademis dan bukan bersifat praktis.

Menerjemahkan Pro Poor Growth dalam indeks akan lebih mudah dimana tiap angka dalam indeks akan lebih proporsional terhadap definisi dan kriteria miskin itu sendiri.

Layanan sosial untuk masyarakat miskin lebih ditujukan untuk menangani kerentanan yang terjadi pada masyarakat miskin dan mitigasi risiko yang mungkin akan dihadapi oleh masyarakat miskin.

Seharusnya tujuan utama dari belanja pemerintah adalah bagaimana pengeluaran-pengeluaran yang dilakukan oleh pemerintah (melalui APBN) dapat bermanfaat bagi masyarakat miskin dan berperan dalam usaha pengentasan kemiskinan.

5 bidang kebijakan yang seharusnya menjadi fokus pemerintah untuk melakukan pengeluaran adalah pendidikan, kesehatan, kesehatan khusus, air dan sanitasi.

Pada bidang pendidikan, Indonesia masih dihadapkan pada permasalahan keterampialn dan kesiapan kerja yang rendah sehingga angka pengangguran semakin tinggi, biaya sekolah yang tinggi mengakibatkan banyak kasus putus sekolah khususnya oleh masyarakat miskin dan terjadinya kesenjangan antara kota dan pedesaan dimana penyelenggara sekolah mendapatkan bantuan operasional sekolah (BOS) yang sama, sedangkan secara real, terdapat perbedaan kemampuan membayar dari siswa sekolah yang ada di desa dan kota.

Pada bidang kesehatan, mutu pelayanan kesehatan yang tidak cukup memadai, masyarakat miskin yang tidak mampu untuk mendapatkan pelayanan kesehatan dikarenakan biaya kesehatan yang terlampau tinggi.

Kesehatan secara khusus, pada umumnya rakyat miskin terjerat dengan kasus balita dengan gizi buruk. Sedangkan menurut penelitian, pada umumnya masyarakat miskin melakukan pengeluaran yang tinggi untuk rokok sehingga tingkat kesehatan masyrakat miskin juga semakin rendah.

Pada bidang air, khususnya air minum, biaya yang mahal untuk mendapatkan layanan PDAM mengakibatkan akses masyarakat terhadap PDAM menjadi rendah. Pengeluaran Pemerintah untuk pengadaan air dan sanitasi juga masih rendah.

Pada bidang sanitasi, permasalahan mendasar yang dihadapi adalah pada pencakupan jasa sanitasi, akses terhadap pemipaan pembuangan kotoran dan tangki septic yang rendah sehingga berdampak buruk untuk kesehatan dan lingkungan hidup

Perlu adanya pemetaan yang komprehensif terhadap tiap-tiap bidang kebijakan terkait masalah dan kendala umum, tindakan-tindakan khusus untuk mengatasi kendala tersebut serta jangka waktu pelaksanaan tindakan tersebut dan menargetkan kapan dampak dari tindakan tersebut secara konkret dapat dirasakan hasilnya.

0 komentar:

Template by: Abdul Munir Admin: Clodi