Kamis, 16 April 2009

Perkembangan Kerjasama Ekonomi Sub-Regional Indonesia : BIMP-EAGA dan IMT-GT


Dalam diskusi ini disampaikan hal-hal sebagai berikut:
• Lingkup kerja sama sub regional
• Latar belakang
• Sifat kerja sama
• Faktor dalam kerja sama
Road Map IMT-GT (Indonesia Malaysia Thailand Growth Triangle) 2007-2011
Road Map BIMP-EAGA (Brunei, Indonesia, Malaysia, Philipine - East Asian Growth Area)

Berikut ini adalah ringkasan materi yang Bp. Makhlani sampaikan dalam diskusi.

Ada banyak factor yang mendorong terjadinya kerjasama sub regional diantaranya yaitu letak geografis masing-masing Negara yang saling berbatasan dimana secara tradisional sejak dahulu di perbatasan antar Negara tersebut telah terjadi kegiatan ekonomi.

Kerja sama sub regional tersebut ditujukan untuk:
• Membuat daerah lintas-batas lebih terintegrasi ;
• Memanfaatkan keunggulan komparatif wilayah ;
• Tetap berada dalam struktur ekonomi nasional masing-masing Negara.

Kerja sama sub regional tersebut memiliki peluang dan hambatan.

Bentuk kerja sama sub regional tersebut diantaranya terwujud dalam kerja sama:

IMT-GT (Indonesia Malaysia Thailand Growth Triangle)
Kerja sama ini telah dimulai sejak tahun 1993. Kerjasama ini ditujukan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi, mengurangi kemiskinan dan untuk perdamaian dan stabilitas. Kerja sama ini dilakukan melalui langkah-langkah:
• Memfasilitasi dan mempromosikan perdagangan dan investasi intra dan inter IMT-GT
• Mempromosikan pertumbuhan pertanian, agro industri, dan pariwisata
• Memperkuat dukungan infrastruktur dan konektivitas
• Memberikan perhatian terhadap mesalah pengembangan SDM/Lingkungan dan manajemen sumber daya alam
• Memperkuat dukungan institutional, meliputi peningkatan kolaborasi sektor publik dan swasta
Ke depan, untuk meningkatkan kerja sama IMT-GT tersebut, akan dilakukan langkah-langkah sebagai berikut:
• Memperkuat koordinasi dan proses di antara institusi-institusi IMT-GT
• Meningkatkan kapasitas institusi-institusi IMT-GT
• Memperkuat mekanisme untuk memperbaiki hubungan IMT-GT dengan berbagai organisasi eksternal,
• Memobilisasi dukungan teknis dan finansial dari mitra pembangunan IMT-GT
• Memperluas partisipasi pemerintah provinsi dan pusat


BIMP-EAGA (Brunei, Indonesia, Malaysia, Philipine - East Asian Growth Area)
Kerjasama ini ditujukan untuk memperkecil development gap antar negara anggota ASEAN dimana dari statistic diketahui bahwa GDP Singapura 21 kali lipat dari Indonesia dan 44 s.d. 121 kali lipat dari anggota ASEAN lainnya yang kurang berkembang. Kerjasama ini dilakukan melalui usaha:
• Mempromosikan perdagangan, investasi, dan pariwisata
• Mengkoordinasikan manajemen sumber daya alam
• Mengkoordinasikan rencana dan implementasi dukungan infrastruktur
• Memperkuat struktur dan mekanisme institusional BIMP-EAGA

Hal-hal yang telah dicapai dari kerjasama BIMP-EAGA ini antara lain:
• Pengerjaan 34 proyek produksi, agrobisnis, dan eco-tourism
• Kebijakan Tarif
• Penghapusan Fiskal Travel, serta pembukaan jalur transportasi darat, laut dan udara baru
• Pengurangan biaya telekomunikasi dalam sub-region

Sebelum mengakhiri diskusi, Bp. Makhlani menyampaikan kesimpulan dan saran sebagai berikut,

Kesimpulan:
• Wilayah kerjasama sub-regional mencakup kawasan yang relatif tertinggal karena itu pembangunan infrastruktur menjadi sangat penting ;
• Komitmen politik sangat dibutuhkan terutama untuk meningkatkan volume kerjasama dalam perdagangan, investasi, pariwisata, dan sektor industri ;
• Komplementaritas ekonomi perlu dimanfaatkan sebaik mungkin dengan meningkatkan peran swasta terutama dalam Business Council;
• Koordinasi antar menteri terkait, seperti Menteri Perhubungan, Pariwisata, Pertanian, Tenaga Kerja, Pekerjaan Umum, Keuangan, Bea Cukai, Imigrasi, dan Karantina sangat menentukan keberhasilan program Roadmap development.

Saran:
• Perlu dilakukan optimalisasi peran ADB, Australia, Jepang, Korea, Cina ;
• Perlu memasukan unsur pembangunan sub-regional dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang dan Menengah ;
• Meningkatkan daya saing infrastruktur, cluster ekonomi, dan kawasan pembangunan yang lebih outward looking dan bersifatsub regional;
• Perlu memfokuskan pada frontliner dan kawasan pulau-pulau ;
• Peningkatan peran sekretariat nasional IMT-GT dan BIMP-EAGA dan koordinasi antar kementerian dan lembaga untuk pembangunan cluster-cluster ekonomi .

[+/-] Selengkapnya...

Selasa, 07 April 2009

Sosialisasi Kode Etik Pegawai BKF


Seperti diketahui bahwa mulai tahun 2007 yang lalu Badan Kebijakan Fiskal melaksanakan reformasi birokrasi sejalan dengan program reformasi birokrasi yang dilaksanakan di Departemen Keuangan. Reformasi birokrasi ini ditujukan untuk memperbaiki kualitas pelayanan kepada publik serta untuk menciptakan aparatur yang bersih, profesional, dan bertanggung jawab. Salah satu agenda dari reformasi birokrasi yang dilaksanakan tersebut yaitu peningkatan disiplin dan manajemen SDM.

Salah satu langkah yang ditempuh untuk lebih meningkatkan, mengaplikasikan, dan menegakkan disiplin dalam kinerja keseharian pegawai di lingkup Badan Kebijakan Fiskal yaitu dengan diterbitkannya Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 219/PMK.01/2007 tentang Kode Etik Pegawai Badan Kebijakan Fiskal. Hal ini juga merupakan tindak lanjut atas PMK Nomor 29/PMK.01/2007 dimana dalam PMK tersebut mewajibkan setiap unit Eselon I Departemen Keuangan menyusun kode etik pegawai negeri sipil yang disesuaikan dengan karakteristik masing-masing unit.

Kode Etik Pegawai Badan Kebijakan Fiskal tersebut dimaksudkan untuk menegakkan dan memelihara standar perilaku profesional dalam rangka menjaga martabat, citra dan kredibilitas serta meningkatkan disiplin dan ketertiban pegawai di lingkungan Badan Kebijakan Fiskal (BKF).

Dalam Kode Etik tersebut antara lain diatur tentang nilai–nilai dasar yang harus dianut dan dijunjung tinggi serta kewajiban dan larangan bagi para pegawai BKF dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsi serta pergaulan hidup sehari-hari.

Nilai-nilai dasar yang dimaksud dalam kode etik tersebut terangkum dalam tujuh nilai dasar (basic values) yaitu:
1. Religius
2. Jujur
3. Bertanggung jawab
4. Disiplin
5. Inisiatif
6. Produktif
7. Peduli

Dalam kode etik tersebut juga diatur kewajiban dan larangan pegawai. Kewajiban pegawai disebutkan dalam 14 poin sedangkan larangan pegawai dijelaskan dalam 15 poin.

Dimana apabila ada pegawai yang melanggar kewajiban dan larangan tersebut dapat dikenakan sanksi berupa:
a. Sanksi moral berupa permohonan maaf secara lisan dan/atau tertulis atau pernyataan penyesalan yang disampaikan secara tertutup atau terbuka; dan/atau
b. Hukuman disiplin sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 30 tahun 1980 dalam hal terjadi pelanggaran disiplin Pegawai Negeri Sipil.

Dan yang terakhir, sebagai bukti bahwa setiap pegawai Badan Kebijakan Fiskal telah membaca, memahami, dan bersedia mematuhi ketentuan dalam kode etik serta apabila terbukti melanggar ketentuan dalam Kode Etik tersebut bersedia untuk dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan yang berlaku, maka setiap pegawai Badan Kebijakan Fiskal wajib menanda tangani Surat Pernyataan.

[+/-] Selengkapnya...

Rencana Pembentukan Bapindo Baru & Kemungkinan Implikasi Risiko Fiskalnya” (*Model Bank Pembangunan di Jerman)

Pembahasan Diskusi :
1. Danareksa sebagai kandidat Bank Pembangunan Indonesia
2. Danareksa akan menjadi Holding Company Bank-Bank BUMN
3. Arsitektur dan Struktur Perbankan di Indonesia
4. Beleid SPP & Kemungkinan Danareksa Menjadi Bapindo
5. Model Pengembangan Bank Pembangunan di Jerman
• Struktur Perbankan di Jerman
• KFW Jerman : Karakteristik dan Operasionalnya
• DSGV – Sparkassen-Finanzgruppe
• Landesbanken – Nord Rhein-Westphalia (NRW) Bank
6. Kemungkinan Risiko Fiskal Terkait dengan Pembentukan Bapindo Baru

Diskusi dimulai dengan pemaparan presentasi mengenai kemungkinan Pemerintah dalam hal ini diwakili Kementerian Negara BUMN mendirikan Bank Pembangunan (Development Bank) Indonesia dengan PT. Danareksa sebagai kandidat terkuat untuk dijadikan Bapindo mengingat peran PT. Danareksa sebagai investment bank selama ini. Namun masih dipertanyakan model Bapindo yang seperti apa yang dikembangkan terhadap PT. Danareksa yang notabene tidak sama dengan bank.

Dilanjutkan dengan kemungkinan lain Pemerintah menjadikan PT. Danareksa sebagai perusahaan induk (holding) bagi bank-bank BUMN. Sesuai dengan Peraturan Bank Indonesia (PBI) No. 8/16/PBI/2006 yang melarang Bank Holding Company melakukan kegiatan usaha (bersifat komersil) selain menjadi pemegang saham bank.

Lebih jauh lagi pemaparan mengenai model pengembangan Bank Pembangunan di Jerman yang telah berhasil mengalang dana untuk pembangunan di negara tersebut. Mulai dari sektor perbankan yang terdiri dari 3 kelompok utama yakni : bank komersial (commercial banks) yang dikuasai swasta, public sector saving bank dan landesbanken, serta bank koperasi (cooperative banks). Juga dipaparkan tentang KFW di Jerman sebagai media penjual saham-saham perusahaan yang diprivatisasi yang nantinya menghasilkan dana besar yang merupakan hasil dari penjualan saham pemerintah yang sukses dijual pada harga yang tinggi.

Sesi Tanya Jawab dan Pemberian Masukan-Masukan :

1. Bapak Eko (Bank Mandiri)
“Saya ingin menambahkan mungkin bisa diperkaya masalah penanganan non performing loadnya yang merupakan warisan dari sewaktu kita masih memiliki Bank Pembangunan, itu yang kira-kira selama ini saya belum mendapat kajian / masukan apabila kita nanti punya Bank Pembangunan lagi kita menjadi tahu bagaimana solusi penanganannya karena kita ketahui bahwa konsep Bank Pembangunan itu lebih banyak kepada hal-hal yang bersifat Agents of Development jadi itu sangat berpotensi sekali untuk timbulnya NPL. Pengalaman juga kebetulan saya dulu dari delegasi yang setelah jadi Bank Mandiri sebelumnya saya adalah delegasi di Bapindo, saya mendapat pengalaman bahwa sebenarnya Bapindo itu pada akhirnya tidak berjalan dengan baik karena ada perubahan mekanisme menjadi Bank Umum dimana harus menjalankan fungsi Bank Komersial , sedangkan dari segi pendanaan Bapindo sangat solid karena merupakan partner dari beberapa Institusi dari luar seperti IDB, World Bank dan sebagaimana lembaga pendanaan lain-lainnya dimana kita membiayai proyek-proyek yang betul-betul mempunyai implikasi pembangunan yang kontribusinya sangat strategis bagi negara kita seperti membangun bendungan, pembangkit listrik segala macam dan sekarang kondisi seperti itulah yang harus dipikirkan bahwa pemerintah sudah saatnya untuk mendirikan suatu Bank Pembanguan.”

2. Bapak Hinsa (PKPN)
Jika dikaitkan langsung Danareksa menjadi Bank Pembangunan Indonesia berarti kalau bicara bank sebagai duta depository ini ada 2 hal yang menarik disini. Pertama kita ketahui bahwasanya Danareksa itu merupakan investment banking dan bukan merupakan bank tetapi mempunyai etika bisnis sebagai penjamin emisi dan investment management. Itulah fungsi utama dari PT. Danareksa yang kemungkinan akan dijadikan Bank Pembangunan Indonesia.

Padahal perlu ketahui, di dunia ini sebenarnya sistem perbankan yang dianut itu ada 2 yakni “Universally Banking“ yaitu dimana suatu negara menganut bahwa bank itu bisa bertindak juga sebagai penjamin emisi sedangkan bisnis bisa dilakukan oleh negara yang menganut universally banking. Negara kita dari tahun 1977 ketika pertama kali pasar modal diaktifkan dengan peluncuran semen cibinong go public sampai dengan tahun 1995 itu menganut sistem universally banking, ini berarti pada jaman dahulu bapindo pernah menjadi penjamin emisi begitu pula dengan bank umum negara, dan karena selama 10 tahun perkembangan pasar modal kita terasa lambat, akhirnya negara kita beralih mengikuti Amerika Serikat yang menganut “Glastigel Eight” yang secara eksplisit bisnis dan perbankan disana (bisnis investment banking) dipisahkan. Jadi bank disana tidak boleh bertindak sebagai penjamin emisi, intinya dari tahun 1995 sampai dengan sekarang sebenarnya kita sudah mengikuti glastigel eight seperti Amerika Serikat, sistem ini digunakan oleh Amerika Serikat pada tahun 1933 karena negara itu mengalami masalah depresi tetapi kalau di Eropa memang masih menggunakan Universally Banking, sehingga bank bisa bertindak sebagai penjamin emisi.

Oleh karena itu kalau PT. Danareksa mau dijadikan Bank Pembangunan Indonesia berati kita akan meninggalkan glastigel eight dan memasuki era universally banking.

3. Bapak Firdaus (Bank Indonesia)
Saya juga melihat 2 kondisi, pertama Danareksa sebagai Bank Pembangunan Indonesia dan yang kedua Danareksa sebagai Bank Holding Company, kalau kita menyimak apa yang disampaikan Pak Hinsa bahwasanya Danareksa bukan bank dan tidak mempunyai pengalaman sebagai sebuah bank sehingga akan mengalami kesulitan kalau nantinya beroperasi sebagai bank dan bahkan dapat menimbulkan risiko-risiko yang dampaknya tidak kecil bahkan lebih besar. Dan apabila dapat dirubah dengan menjadikan bank maka efeknya pemerintah harus menyediakan dana sebesar 3 triliun itu tadi dan harus memenuhi berbagai persyaratan sehingga akan memakan waktu / proses yang sangat panjang.

Oleh karena itu, cara yang paling mudah dilakukan saat ini adalah mengkonversi bank yang sudah ada, bisa Bank Mandiri misalnya atau bank mana saja yang berubah fungsinya / orientasinya yang tadinya dari bank umum menjadi Bank Pembangunan Indonesia. Jadi itu sebenarnya cara yang paling mudah yakni dengan cara memperkuat permodalannya bukan hanya 3 triliun tetapi mungkin lebih. Dan juga karena Bank Pembangunan Indonesia sifatnya harus membiayai dana-dana jangka panjang, dia tidak bisa menanggung semua risiko yang ada karena terlalu besar sehingga perlu adanya pembagian share dengan masyarakat misalnya dibuat terbuka bagi masyarakat sehingga dapat mengurangi risiko-risiko yang tadi disampaikan oleh Pak Eko dari Bank Mandiri. Dalam prosesnya itu ada semacam gabungan dimana dia menyerap dana bukan hanya dia salurkan sendiri tetapi bisa melalui BPD-BPD dibawahnya dan juga mengkoordinasi BPD-BPD yang ada itu untuk mencari dana-dana jangka panjang di pasar sebagai dana investasi.

Kemudian mengenai pembentukan Danareksa sebagai Holding Bank Company, dalam hal ini PBI No. 8 /2006 disebutkan bahwa Bank Holding Comopany itu tidak boleh melakukan kegiatan usaha selain menjadi pemegang saham bank, artinya dia tidak boleh memiliki usaha lain walaupun sebagai penjamin emisi / investment bank jadi dia murni fungsinya adalah sebagai pengawas saja sehingga dia harus melepas sama sekali fungsi yang sudah ada.
Dan terkait risiko fiskal, kemungkinan yang akan timbul adalah kredit macet yang bisa menjadikan harga obligasi yang diterbitkan oleh pemerintah jatuh sehingga bisa menjadi beban pemerintah dalam APBN.

4. Bapak Loso (Staf Khusus Menteri Negara BUMN)
Yang pertama kita pisahkan dulu konsep policy bank terhadap single person policy karena dari kajian kita yang cukup mendalam kita bisa menuju kepada suatu konklusi bahwa kebijakan single person policy sebenarnya barang kali bukan kebijakan buat kita dan pada saat kita diskusikan dengan Gubernur BI dan Deputi Gubernur BI kita sudah tunjukan beberapa aspek yang terkait dengan kebijakan itu dan memang kenapa akhirnya peraturan ini berlaku kepada kita?, hal itu karena dianggap agar seolah adanya national treatment antara pemegang saham pemerintah dan pemegang saham asing.

Kalau kita melihat praktis di negara lain seperti Thailand, disana juga ada semacam single person policy tetapi munculnya pada segmen/sektor sehingga pemerintah disana punya bank tetapi pada sektor yang berbeda-beda.
Jadi dalam konteks itu kenapa pada akhirnya muncul istilah holding ? Karena kalau kita melihat dari esensi single person policy dengan adanya Bank Holding Company itu tidak memecah aturan itu. Sebenarnya yang melanggar itu adalah berubahnya fungsi dari bank pemerintah menjadi holding, itu juga jadi sebuah kompromi bagi Bank Indonesia dengan Pemerintah.

Nantinya apabila kita bisa membuat Undang-Undang Khusus tentang Bank Pembangunan Indonesia diharapkan bisa mengikuti sistem perbankan yang diterapkan di negara Jerman yang posisinya kuat. Namun kalau kita ingin membuat tandingan KFW-nya Jerman di Indonesia seperti yang tadi disampaikan maka kita harus puas dengan kondisi transisional yang ada di Indonesia. Pertama KFW didirikan atas dasar Undang-Undang sehingga harus diikuti pula oleh kita, padahal coba anda bayangkan waktu yang diperlukan untuk membuat Undang-Undang saja cukup lama dan butuh proses sehingga menjadi suatu kesulitan pula. Akan tetapi esensi dari Undang-Undang ini adalah untuk mempertegas posisi/kedudukan dari lembaga ini agar mempunyai open status, inilah yang penting dan harus diwujudkan sehingga ada suatu penjaminan dari Pemerintah.

[+/-] Selengkapnya...

Efisiensi Public Service Obligation (PSO) Perhubungan Laut



Yang dibahas dalam diskusi meliputi :
• Konsep PSO
• Dasar hukum PSO Perhubungan Laut
• Ukuran Keberhasilan PSO
• Formulasi PSO (Meneg BUMN)
• Hasil Temuan
• Efisiensi PSO Perhubungan Laut
• Kesimpulan dan rekomendasi

PSO adalah pembebanan kewajiban umum yang kemanfaatannya tidak dikorelasikan untuk memenuhi kepentingan bisnis.

Dasar Hukum
1. UU 19 Tahun 2003 tentang BUMN pasal 66 ayat 1.
2. PP 45 tahun 2005 ttg Pendirian, Pengurusan, Pengawasan dan Pembubaran BUMN psl 65.
3. Per Menhub No. KM 22 Tahun 2007 ttg Tarif Batas Atas Angkutan Laut Dalam Negeri Kelas Ekonomi .
4. Per Menhub No. KM 1 tahun 2007 ttg Pelaksanaan Kewajiban Pelayanan Umum Bdg Angk Pnp Kls Ekonomi Angkutan Laut Dalam Negeri TA 2007.
5. Kep Dirjen Hubla No. AT.55/I/I/DJPL-07 ttg Penetapan Jaringan Trayek Tetap dan Teratur (Liner) Angkutan Laut Penumpang Dalam Negeri Untuk PT PELNI (Persero) Tahun 2007.
6. Per Menkeu No. 29/KMK.02/2006 ttg Tatacara Penyediaan, Pencairan dan Pertanggungjawaban Dana Penyelenggaaan Kewajiban Pelayanan Umum Bidang Angkutan Laut Penumpang Kelas Ekonomi dan Bidang Pos.
7. Surat Dirjen Anggaran kepada Dirjen Hubla Dephub No. S-187/AG/2006 mengenai Dana Penyelenggaraan PSO PT PELNI T.A 2007.
8. Perj/ Kespkt Penyelenggaraan KPU di Bdg Angk Laut Pnp Kls Ekonomi TA 2007 No. HH.48/1/1/DJPL-07 & No. TH.13/SS/III/2007 ant DirJen Hubla dg PT PELNI.

Hasil Temuan
a. Usulan PSO PT.Pelni dar1 Rp. 319 M (2003) menjadi Rp.1.006 M (2007).
b. Tidak dilakukan pemisahan pembukuan atas PSO & non-PSO.
c. Kapal yang tidak efisien .
d. Biaya per pnp/mil kelas ekonomi lebih besar dari yang seharusnya.
e. KM Labobar untuk PSO = 3.018 org lebih besar dari kls ekonomi 1.866 org.
f. Peningkatan port stay.
g. Tarif pnp eko naik dari Rp. 315,67/pnp/mil menjadi Rp. 410/pnp/mil.
h. Rute PT.Pelni dilayari oleh pelayaran swasta dgn tarif yang sama.
i. Variable FN pd formula perhitungan PSO disamakan dengan uang rambu.

Efisiensi PSO Perhubungan Laut
1. Penyesuaian Biaya Poko Produksi (BPP).
2. Konversi dari HSD ke MFO.
3. Modifikasi kapal untuk bisa memuat Penumpang, Barang dan Kendaraan (3 in 1).
4. Pengaturan rute (re-routing) menjadi Trunk Line dan Feeder Line (Zoning System).
5. Penetapan Kriteria Fasilitas Negara (FN) dalam formulasi PSO.

Adapun sesi tanya jawab dan pemberian masukan-masukan sebagai berikut :

Bapak Agunan Samosir ,
• Rekomendasi yang diberikan masih umum (sebagi contoh: PenggantianKapal)
• Depkeu berkewenangan untuk mengkaji ulang sehingga tidak terjadi pemborosan dan kesalahan perhitungan.
• Pemisahan pembukuannya harus dijelaskan secara detail.
• Efisiensi Bahan Bakar adalah permaslahan klasik.
• Perlu diperhatikan bahwa sebagian kapal penumpang menjadi kapal barang.
• Data yang diperoleh untuk mengkaji PSO harus dibandingkan dengan data yang diperoleh dari badan Pusat Statistik (BPS).

Bapak Fajar, dari PKPN
• Kita seharusnya menganalisis laba dari PT.Pelni sebelum dan sesudah adanya PSO, jika tidak ada perubahan berarti tidak ada Trade off.
• Perbandingan tarif antara PT.Pelni dengan swasta untuk jalur yang sudah dilayari oleh swasta.
• Bahan bakar, apakah ada selain solar?
• PT.Pelni seharusnya keluara dari jalur yang sudah dimasuki swasta dan melayani jalur yang tidak dilayani swasta.

Bapak Siswanto, dari PKBN
• PSO diberikan karena PT.Pelni rugi dengan maraknya penerbangan murah.
• PT.Pelni belum bisa merubah bisnisnya dengan tetap Jakarta dijadikan pusat.

Bapak Hinsa Siahaan, Peneliti
• Ada 2 sistem perekonomian yaitu Sistem Perekonomian Sosialis dan Sistem Perekonomian Liberal dimana Indonesia menganut yang campuran dengan 3 soko guru perekonomian yaitu pemerintah melalui BUMN, swasta dan Koperasi.
• BUMN diharapkan menjadi agent of development, dimana untuk perhubungan laut dilaksanakan oleh PT.Pelni.
• Jika swasta sudah mampu, ada baiknya diserahkan atau dijual kepada swasta melalui privatisasi sehingga perusahaan bisa lebih kompeten, dan tidak akan muncul risiko fiskal di dalam APBN, Pemerintah nantinya membuat kebijakan pasar.

Ragil Kuncoro
• Perlunya masukan dari berbagai pihak khususnya di BKF untuk menyempurnakan studi mengenai PSO perhubungan laut.
• Perlunya dikaji lebih lanjut mengenai prediksi bagaimana kelanjutan PSO kedepan karena secara teori seharusnya PSO akan terhenti pada suatu kondisi dimana jalur non-ekonomis menjadi jalur ekonomis.

Jawaban dan Tanggapan atas pertanyaan, sebagai berikut:

Bapak Ivan Yulianto
• Rekomendasi yang diberikan memang masih umum,tetapi pada intinya PSO itu harus mencapai apa yang menjadi tujuan adanya PSO secara efektif dan efisien.
• Hasil audit dari BPK selalu menghasilkan angka yang lebih besar dari perhitungan Depkeu kecuali untuk Tahun 2004.
• Masalah likuidasi atau privatisasi BUMN khususnya PT.Pelni belum dibicarakan lebih jauh karena ada komite Privatisasi yang akan mengkaji lebih lanjut.
• Dari 40% jalur pelayaran yang juga dilalui oleh swasta, tarif yang diberlakukan adalah sama dengan tarif dari PT.Pelni. Tetapi PT.Pelni harus melalui jalur lain yang tidak ekonomis demi untuk pelayanan logistik dan segala macamnya.
• Masalah bahan bakar ada 2 jenis yaitu HSD dan MFD. Dimana MFD ini lebih murah tetapi perlu dilakukan modifikasi mesin untuk dapat menggunakannya. Swasta sudah menggunakan MFD dan ada yang memakai kedua bahan bakar tersebut, pada saat mulai berlayar dengan HSD kemudian setelah jalan memakai MFO. Ini dilakukan sebagai salah satu wujud efisiensi biaya yang dikeluarkan untuk bahan bakar.

Kesimpulan:
• PSO Perhubungan Laut cenderung naik, diperkirakan tahun 2008 Rp 835 miliar – 1,07 triliun .
• Prosedur pelaksanaan PSO belum sesuai ketentuan, seperti belum dipisahkannya pelaporan keuangan PSO dan non PSO serta belum adanya keseragaman dalam perhitungan besaran PSO.
• Pelaksanaan PSO belum efisien, seperti ketidaksesuaian ukuran kapal dengan potensi jumlah penumpang, biaya BBM yang lebih mahal dari operator swasta, pengaturan jalur pelayaran yang tidak efisien.
• Adanya pelanggaran dalam pelaksanaan PSO seperti salah perhitungan nilai PSO dan peningkatan kuantitas port stay, sehingga menambah potensi risiko fiskal dan mengurangi tingkat layanan kepada pengguna jasa.

Rekomendasi:
• Melakukan Perhitungan PSO berdasarkan kebutuhan riel per kapal per tahun.
• Melakukan pemisahan pembukuan antara PSO dan Non PSO.
• Melakukan Efisiensi biaya melalui penggantian bahan bakar dan penerapan zoning system (trunk liner & feeder liner).
• Mengganti kapal dgn kapasitas lebih kecil dan mengalihkan kapal besar untuk angkutan barang dan kendaraan.
• Melakukan redefinisi FN (Fasilitas Negara) pada Formula Perhitungan PSO sebagai Pengadaan kapal oleh Pemerintah.
• Agar lebih transparan, pada tahun-tahun yang akan datang, sebaiknya program PSO dilakukan melalui proses lelang.
• Optimalisasi Kapal Perintis.

[+/-] Selengkapnya...

Kenapa Asumsi Makro Berubah?

Diskusi dihadiri oleh Sekretaris BKF, Kepala Pusat Kebijakan Belanja Negara, para Pejabat dan Pegawai Badan Kebijakan Fiskal dengan tema diskusi “Kenapa Asumsi Makro Berubah??”

Penyaji memaparkan mengenai pengertian asumsi makro, hal-hal yang mempengaruhi asumsi makro, perkembangan ekonomi global terkini, dan mengapa asumsi makro yang telah ditetapkan pemerintah mengalami perubahan.

Asumsi dasar ekonomi makro adalah besaran yang digunakan untuk menghitung besaran APBN. Besaran ekonomi makro yang digunakan untuk menghitung APBN adalah pertumbuhan ekonomi, tingkat inflasi, rata-rata nilai tukar rupiah, suku bunga sertifikat bank Indonesia (SBI) 3 bulan, harga minyak, dan lifting minyak.

Besaran asumsi makro ditetapkan berdasarkan perkembangan berbagai sektor yang terjadi baik di dalam negeri maupun luar negeri yang berpengaruh pada keadaan ekonomi secara keseluruhan, oleh sebab itu apabila kondisi yang terjadi menampakan kecenderungan meleset dari asumsi makro yang telah ditetapkan maka pemerintah dapat melakukan perubahan terhadap asumsi makro tersebut.

Hal-hal yang mendasari perubahan asumsi makro adalah sebagai berikut:
a. Terjadinya perubahan ekonomi dunia yang disebabkan:
• Perlambatan pertumbuhan ekonomi dunia
• Kenaikan harga minyak dunia
• Kenaikan harga komoditi pangan dunia
b. Penurunan produksi minyak dunia
c. Peningkatan konsumsi minyak dunia

Terjadinya krisis kredit subprime di Amerika Serikat mengakibatkan institusi keuangan internasional seperti Merill Lynch, Citigroup, UBS, Morgan Stanley dan institusi keuangan lainnya yang mayoritas berada di Amerika Serikat dan Swiss mengalami kerugian yang cukup besar, hal tersebut mendorong masuknya dana institusi keuangan Asia seperti Abu Dhabi Invesment Authority, Singapore Government Invesment Corp, China Investment Corp dan institusi keuangan lainnya untuk menyalurkan dananya guna membantu mengatasi dampak kerugian yang terjadi. Dengan masuknya dana Asia tersebut secara pasti menyebabkan beralihnya pusat keuangan dunia ke China, Singapore dan Uni Emirat Arab.

Harga minyak dunia yang terus mengalami kenaikan sejak tahun 2007 hingga sempat menyentuh harga USD 100 per barel turut pula mempengaruhi perekonomian global. Kenaikan harga minyak dunia tersebut menyebabkan harga komoditi pangan ikut pula mengalami kenaikan yang cukup signifikan.

Faktor geopolitik yang terjadi di Timur Tengah, terganggunya produksi dari Laut Utara dan tingginya permintaan dari Emerging Markets menyebabkan terjadinya peningkatan harga minyak dunia. Sedangkan peningkatan harga komoditas yang terjadi disebabkan karena tingginya permintaan dari Emerging Markets seperti dari China dan India, peningkatan urban popoulation yang cenderung menaikkan permintaan, pertumbuhan ekonomi negara-negara Afrika berkat investasi besar-besaran dari China dan efek konversi energi dari penggunaan minyak menjadi jagung.

Dampak perekonomian global yang terjadi kepada perekonomian Indonesia khususnya karena krisis subprime Amerika Serikat berawal dari Pasar Uang dan Pasar Modal yang akan mempengaruhi stabilitas ekonomi makro, kestabilan ekonomi makro sangat diperlukan bagi APBN untuk menggerakan sektor riil yang akan memacu pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan.

Secara umum pengaruh ekonomi global yang berdampak pada perekonomian Indonesia terdapat pada sektor-sektor:
a. Pasar Uang, yakni adanya gejolak volatilitas di pasar valas, menurunnya arus modal masuk (capital inflow) ke Indonesia dan kecenderungan import minyak yang akan tetap tinggi sehingga dikhawatirkan akan mempengaruhi cadangan devisa.
b. Pasar Modal, yakni Pemodal Asing yang sangat sensitif pada gejolak di Amerika Serikat dan Pasar Modal Regional, sehingga mereka akan sangat berhati-hati menanamkan modalnya.
c. Ekspektasi Inflasi, yakni meningkatnya harapan terhadap angka inflasi yang dapat ditekan karena volatilitas nilai tukar dan peningkatan harga komoditas pangan.
d. APBN, yakni meningkatnya defisit APBN yang disebabkan membengkaknya subsidi BBM dan listrik, selain itu pembiayaan APBN dari obligasi menjadi lebih mahal dan sulit.
e. Perdagangan, yakni terpengaruhnya volume ekspor non migas dan pasar tujuan ekspor ke Amerika Serikat dan Eropa akan mengalami penurunan.
f. Perbankan, yakni kebijakan bank yang lebih berhati-hati dalam menyalurkan kreditnya karena naiknya risiko usaha.
g. Sektor Riil, yakni dunia usaha akan berpengaruh karena naiknya bahan baku, biaya transpor, bahan makanan dan biaya lainnya.

Asumsi dan realisasi lifting minyak Indonesia tahun 2008 mengalami perbedaan jarak yang cukup jauh, tahun 2008 asumsi lifting minyak Indonesia berada sekitar 1,034 juta barel per hari sedangkan realisasi sekitar 0, 910 juta barel per hari.

Konsumsi BBM untuk kendaraan dan pembangkit listrik sejak tahun 2007 hingga awal tahun 2008 mengalami kenaikan yang cukup signifikan, peningkatan konsumsi BBM akan mendorong terjadinya peningkatan volume import BBM untuk menutupi kebutuhan dalam negeri sehingga akan berpengaruh pada biaya subsidi yang diberikan untuk BBM dan menurunya cadangan devisa dalam negeri karena digunakan untuk membiayai import tersebut.

Kondisi ekonomi makro yang terjadi seperti telah dipaparkan tersebut akan memberikan dampak secara keseluruhan pada perekenomian dalam negeri saat ini sehingga asumsi makro APBN yang telah disusun secara pasti akan mengalami perubahan mengikuti perkembangan ekonomi saat ini.

[+/-] Selengkapnya...

Rancangan APBN Perubahan 2008

Pokok bahasan dalam diskusi ini yaitu latar belakang, perubahan-perubahan APBN 2008, langkah pengamanan, dan tindak lanjut perubahan APBN 2008.

APBN 2008 perlu mengalami perubahan akibat terjadinya perubahan ekonomi global serta akibat penurunan proyeksi lifting minyak yang berdampak pada perubahan semua pos APBN 2008.

APBN 2008 ini perlu segera mengalami perubahan karena bila dibiarkan akan mengganggu pelaksanaan APBN 2008 dan tidak dapat menampung perubahan yang terjadi karena asumsi makro dalam APBN 2008 sulit dipertahankan, defisit APBN akan melambung, dan kredibilitas APBN 2008 akan dipertanyakan publik.

Uraian

Tanpa Kebijakan (Do Nothing)

Dengan Kebijakan (Sharing the Pain)

Pendapatan Negara

+ Rp 25 T

+ Rp 58 T (optimalisasi)

Belanja Negara

+ Rp 130,9 T, a.l. :

· Subsidi BBM + Rp 70,4 T

· Subsidi listrik + Rp 35,2 T

+ Rp 71,6 T (penghematan)

· Subsidi BBM + Rp 60,4 T

· Subsidi listrik + Rp 25,2 T

Defisit

Rp 178,8 T (4,2% PDB)

Rp 86,8 T (2% PDB)

Kekurangan Pembiayaan

Rp 107,5 T

Nol




Melihat perbandingan dalam table diatas, jelas perlu dilakukan berbagai macam kebijakan guna mengamankan APBN 2008. Berikut ini adalah langkah-langkah pengamanan APBN 2008 yang diambil oleh pemerintah:

A. Optimalisasi Pendapatan:

1. Optimalisasi perpajakan, PNBP dan Dividen BUMN
B. Penghematan Belanja:
2. Penggunaan dana cadangan APBN
3. Penghematan dan penajaman prioritas belanja Kementerian/Lembaga
4. Perbaikan parameter produksi dan subsidi BBM dan listrik
5. Program hemat energy dan efisiensi di Pertamina dan PLN
C. Pelonggaran deficit dan optimalisasi pembiayaan:
6. Pemanfaatan dana kelebihan (windfall) di daerah
7. Penerbitan obligasi pinjaman program
D. Program stabilisasi harga:
8. Pengurangan beban-beban pajak komoditas pangan strategis
9. Penambahan subsidi pangan.

Suatu yang perlu diperhatikan juga bahwa 9 langkah pengamanan APBN diatas memerlukan kontribusi, partisipasi dari semua pihak (Pusat dan daerah, Kementerian serta BUMN)

[+/-] Selengkapnya...

Perhitungan Besaran Alpha BBM



Diskusi dihadiri oleh para pejabat, staf dan peneliti di lingkungan BKF Depkeu serta para pejabat dari Ditjen Anggaran Depkeu, BPH Migas, PT Pertamina, Ditjen ESDM, Meneg BUMN dan Fakultas Ekonomi Universitas Diponegoro. Dalam diskusi kali ini terdapat ringkasan materi (presentasi) yang disampaikan oleh penyaji dan beberapa pertanyaan maupun komentar yang diajukan oleh peserta diskusi yaitu sebagai berikut:

Ringkasan Presentasi :

Penentuan perhitungan besaran alpha BBM didasarkan pada formula yang telah ditetapkan melalui Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2005. Beberapa indikator yang menentukan dalam perhitungan alpha BBM antara lain : biaya distribusi, margin dan faktor explorasi kilang. Pola perhitungan yang dilakukan dalam penelitian ini berpatokan pada formula dan parameter yang digunakan oleh BPH Migas, namun untuk biaya operasi dan transportasi disesuaikan dengan kondisi daerah di masing-masing wilayah kerja cabang PT. Pertamina mulai dari Pulau Sumatra sampai dengan Papua. Hasil perhitungan tersebut dapat diketahui perbedaan besaran alpha yang telah ditetapkan dalam APBN dengan hasil penelitian ini, dimana dalam APBN 2006 dan APBN 2007 alpha BBM ditentukan sebesar 14,1 persen, APBN 2008 sebesar 13,5 persen, sementara hasil penelitian menunjukan bahwa besaran Alpha BBM Tahun 2006 sebesar 11,86 persen, Tahun 2007 sebesar 12,43 persen dan Tahun 2008 sebesar 12,16 Persen. Hasil perhitungan tersebut belum memasukkan biaya UPMS III Jakarta dan biaya rata-rata biaya operasional kantor pusat PT Pertamina. Besarnya alpha BBM yang akuntabel dan transparan yang mencerminkan kondisi regional suatu daerah akan memberikan implikasi yang cukup besar terhadap besaran subsdi BBM. Hasil analisis tersebut diharapkan dapat dijadikan sebagai model sederhana penyusunan pemberian besaran subsidi dan pola kebijakan subsidi dimasa mendatang.

Selanjutnya, beberapa pertanyaan dan komentar dari peserta diskusi dibagi dalam 2 sesi, yaitu sebagai berikut :

Sesi I

1. Yugi Prajogio (BPH Migas)
• MOPS merupakan harga tengah dan bukan harga rata-rata. Dengan menggunakan harga MOPS tidak perlu memasukan faktor kilang, karena MOPS telah menggunakan referensi harga internasional yang didalamnya sudah dimasukan margin dan perhitungannya pun lebih sederhana. Dalam jangka panjang para industriawan lebih menyukai MOPS karena selain memberikan keuntungan yang cukup besar juga harganya lebih murah. Kenaikan Crude Oil akan seiring dengan perubahan MOPS namun waktunya akan berbeda dan tidak akan sama, misalnya Crude Oil naik US$10 mungkin MOPS akan naik sebulan lagi tergantung dari stock yang dimiliki.

2. Ibrahim (BPH Migas)
• Dalam penentuan alpha BBM terdapat banyak perdebatan maka perlu dibuatkan dan dibuktikan dengan menggunakan model. Apakah dalam penelitian BKF ini perhitungannya berdasarkan mikro perusahaan atau secara makro nasional?
• Perhitungan alpha BBM seharusnya dibuat secara benar karena angka ini sangat strategis dalam perhitungan subsidi, oleh karena itu perlu dibuatkan suatu model secara makro nasional dengan studi yang menyeluruh dengan rumusan yang dibuat lebih kompherenif. Dalam tahapan awal studi ini harus dibuat cluster-cluster terlebih dahulu dan dengan model tertentu. Selanjutnya mencari cluster yang lebih efisien, karena seperti diketahui biaya alpha ini terdiri dari ongkos angkut, ongkos timbun ditambah margin, untuk ongkos angkutan harus dipertimbangkan ketersediaan dan kesesuaian infrastruktur. Dengan di buat suatu model diharapkan akan didapatkan biaya yang paling efisien.

3 Eni Pratiwi (PT Pertamina)
• Dimasukannya biaya faktor kilang karena kilang Pertamina belum bisa memproduksi 100% dimana kilang UP IV dan V kondisi infrastrukturnya belum seperti kilang yang ada di Balongan.
• Alpha rata-rata tidak bisa hanya satuan di bagi 3, tetapi sebaiknya memperhitungkan volumenya, dimana dalam APBN-P 2007 volume premium sekitar 16,5 juta kl, solar sekitar 9,8 juta kl dan minyak tanah sekitar 9,5 juta kl.

4. Yulianto (ESDM)
• Apakah dengan waktu yang ada cukup untuk mengedentifikasi cost structure pertamina terutama di UPMS ?
• Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah replikasi penghitungan BPH migas, apakah penghitungan ini merubah perhitungan yang dipakai oleh BPH migas atau di pakai langsung ?
• Bagaimana menghitung angka Biaya operasi dan transportasi ?
• Faktor kilang 2% dari MPOS dasarnya apa? apakah masih layak untuk digunakan sampai sekarang?

Jawaban dan Tanggapan

• Penelitian yang kami lakukan lebih bersifat mikro regional berdasarkan pembagian wilayah kerja PT Pertamina, apabila dikaji secara nasional akan membutuhkan effort dan biaya yang sangat besar. Dalam penelitian ini lebih ditekankan untuk memperoleh cost structure di tiap wilayah. Kami sependapat dengan masukan yang disampaikan BPH migas bahwa dalam perhitungan alpha BBM harus dibuatkan model Makro secara nasional agar memperoleh hitungan yang lebih kompherensif.
• Perhitungan alpha dalam kajian ini dengan menggunakan formula yang baku. Dalam kajian ini untuk memperoleh besaran alpha tiap jenis BBM (premium, solar, minyak tanah) secara nasional dihitung berdasarkan rata-rata dari alpha UPMS dan selanjutnya alpha BBM (total) dihitung dari rata-rata alpha tiap jenis BBM. Namun, Alpha rata-rata dapat dihitung dengan memasukan besarnya volume dari masing-masing jenis BBM.
• Data yang kami peroleh adalah dengan survey langsung ke lapangan, sehingga waktu yang diberikan cukup untuk mengidentifikasi besaran cost structure yang dibutuhkan. Cost tersebut meliputi biaya operasi yang terdiri dari gaji upah, kontrak, material, own use, angkutan, sundries, dan biaya penyusutan. Sementara itu, biaya transportasi meliputi biaya wilayah setempat (freight cost) yaitu biaya dari instalasi ke depot ataupun biaya dari instalasi ke instalasi lainnya. Selain itu, biaya transportasi memperhitungkan pula biaya dari depot ke agen/ SPBU dengan jarak angkutnya.
• Biaya operasi diperoleh secara total untuk semua jenis BBM, kemudian untuk mendapatkan biaya (Rp/liter) masing-masing jenis BBM dilakukan pembobotan berdasarkan volume penjualannya. Sementara biaya transportasi diperoleh berdasarkan rata-rata cost yang keluarkan dan didalamnya telah memperhitungkan jarak. Untuk faktor kilang sepenuhya menggunakan data BPH Migas.
• Selanjutnya, pola perhitungan yang dilakukan dalam penelitian ini berpatokan pada formula dan parameter yang digunakan oleh BPH Migas namun yang membedakan adalah biaya operasi dan biaya transportasi.

Sesi II

1. Mantaris (Meneg BUMN)
• Dengan menggunakan MOPS banyak variabel yang mempengaruhi, kenapa tidak menggunakan Harga Pokok Produksi karena lebih sederhana dan hanya menghitung berapa harga biaya produksi saja ?
• Margin dalam alpha kenapa tidak menggunakan prosentase agar lebih jelas?

2. Joko Tri Haryanto (BKF)
• Kenapa biaya operasi dan transportasi selama tiga tahun dianggap sama dan untuk BPH migas pun selama dua tahun sama?
• Dalam kajian ini perhitungan alpha menggunakan paramater yang sama dengan BPH migas, namun BPH Migas menggunakan pendekatan Wilayah Daerah Niaga (WDN) sementara kajian ini pendekatannya UPMS, Bagaimana cara memasukan wilayah/daerah didalam lingkup WDN ke UPMS?
• Mohon dikoreksi, perhitungan margin tahun 2007 sedikit berbeda dengan margin BPH Migas?

3. Herniwati (UNDIP)
Biaya operasi mitan di dalam kajian BKF lebih besar dibandingkan dengan premium dan solar dari tahun 2006-tahun 2007 ?

4. Mukaromah (Dit. PNBP-DJA)
Pada tahun 2008 BPH migas melakukan penelitian alpha, dari pola ditribusi mungkin ada penghematan sehingga akan menghasilkan biaya transportasi yang lebih efisien. Penetapan MOPS departemen ESDM yang harus yang harus lebih dominan untuk memutuskan.

Jawaban dan Tanggapan

• Mops lebih mudah dan sederhana untuk digunakan, sementara untuk menghitung HPP BBM agak sulit dihitung. Namun tidak tertutup kemungkinan kedepannya bisa dilakukan kajian bagaimana dengan menggunakan HPP.
• Kajian ini dilakukan pada tahun 2007 dengan periode penelitian tahun 2006 sehingga untuk perhitungan biaya operasi dan biaya transportasi tahun 2007 dan 2008 diasumsikan sama dengan tahun 2006.
• Wilayah Daerah Niaga di bagi menjadi 4 wilayah dan didalamnya telah mencerminkan pembagian wilayah kerja pertamina, sehingga pembagian dalam 8 wilayah upms telah disesuaikan dengan yang tertera di WDN.
• Minyak tanah memiliki rantai distribusi yang panjang dibandingkan dua jenis BBM lainnya sehingga biaya operasinya lebih besar. Subsidi tetap diberikan dengan tujuan untuk meringankan beban masyarakat.
• Studi ini diharapkan dapat ditindaklanjuti lebih mendalam agar perhitungan alpha dapat mencerminkan kondisi perekonomian wilayah di Indonesia (regional).
• Tanggapan dan Jawaban selengkapnya telah terakomodir di Sesi I

[+/-] Selengkapnya...

Kebijakan Cukai Rokok 2008





[+/-] Selengkapnya...

Efektifitas Program Konversi Minyak Tanah (Mitan) ke LPG


Diskusi dihadiri oleh para pejabat, staf dan Peneliti di lingkungan BKF serta undangan dari luar Departemen Keuangan, antara lain Divisi Gas Domestik, PT Pertamina dan Tim Peneliti FE Universitas Diponegoro. Beberapa pertanyaan yang diajukan peserta diskusi antara lain sebagai berikut:

SESI I

1. Bambang Prihartono (PKBN)
• Bagaimana penjelasan 1lt mitan = 0,57kg LPG setara energi? Padahal angka tersebut adalah relatif karena harus mempertimbangkan lamanya penggunaan dan banyaknya bahan yang dimasak.
• Sejauh mana peran PT Perusahaan Gas Negara (PT PGN) terkait dengan konversi mitan ke LPG?

2. Ali Chaeruddin (PKSI)
• Dalam melakukan program konversi seharusnya dipertimbangkan volume BBM mana yang lebih banyak sehingga bisa dikonversi oleh volume BBM lain yang lebih sedikit. Apakah sudah mempertimbangkan hal tersebut? Artinya melakukan konversi mitan ke LPG apa dengan pertimbangan bahwa volume LPG lebih banyak? Bagaimana proyeksi cadangan minyak bumi dibanding gas?
• Adanya booming minyak dunia yang semakin tinggi, seharusnya Indonesia beruntung tetapi kenapa justru subsidi makin membengkak?
• Dengan obyek konversi adalah masyarakat, bagaimana kemudahan untuk mendapatkan gas di pasaran?

3. Almizan (PKBN)
• Dalam hal metodologi penelitian yang digunakan kenapa metode survei yang dipakai? Padahal metode ini mempunyai beberapa kelemahan diantaranya responden menjawab hanya untuk menyenangkan penanya, karena ada conflict of interest atau surveyor melakukan jawaban imajiner. Apakah usaha perbaikan untuk mengatasi hal tersebuttelah dilakukan dan dipertimbangkan?
• Bagaimana kemudahan mendapatkan LPG di lapangan?

4. Fajar (PKPN)
• Apakah dalam survei ditanyakan berapa lama rata-rata satu tabung LPG 3kg dihabiskan? Bagaimana bila dibandingkan dengan tabung 12kg? Banyaknya pasar konsumen tabung LPG 3kg atau 12kg dapat dijadikan Pertamina sebagai bahan pertimbangan untuk memproduksi tabung antara 3kg dan 12kg, yaitu 6kg dan 9kg.
• Mitan dan LPG adalah sumber energi yang tidak dapat diperbaharui dan suatu saat akan habis, sampai kapan kebijakan subsidi akan diberlakukan?


Tanggapan dan Jawaban

• Skala program konversi sangat besar sehingga perlu perencanaan yang matang dan diperlukan waktu yang cukup lama yaitu tahun 2007-2010. Implikasi dari program konversi ini :
1. Dari sisi Pemerintah adalah untuk kepentingan penghematan subsidi (saving subsidy).
2. Dari sisi konsumen tidak terlalu peduli dengan penghematan subsidi tersebut namun lebih kepada lebih hemat, praktis dan bersih.
3. Dari sisi Pertamina lebih ke sisi marketing.

• Kebijakan konversi dilontarkan Wakil Presiden Yusuf Kalla pada Maret 2006 dan Pertamina adalah pihak yang harus melaksanakan kebijakan tersebut. Pada Agustus 2006 telah dilakukan uji coba pasar oleh lembaga independen untuk menerapkan kebijakan konversi di suatu kecamatan. Dari hasil uji coba tersebut dapat direkomendasikan bahwa respon pasar terhadap konversi secara umum baik. Mengenai pandangan konsumen dan kendala yang mungkin dihadapi juga bisa digambarkan dari uji coba tersebut, sehingga target diperluas menjadi 10rb KK pada Januari-April 2007. Dari uji coba tersebut, sebanyak 86% responden menyetujui program konversi tersebut.

• Apa yang tercantum di halaman 10 tentang target penerima program konversi sebetulnya tidak secara legal ditetapkan, hanya sebagai usaha dari Pertamina untuk memfilter target penerima. Tingginya target error yang diperoleh dari survei Tim PKBN dipengaruhi beberapa kemungkinan:
1. Banyaknya masyarakat pemakai dual fuel (mitan dan LPG) tapi tetap mendapatkan paket kompor gas, rata-rata mereka mengaku tidak memakai gas sehingga dianggap sebagai target penerima.
2. Konsensus warga agar semua mendapat paket kompor gas, padahal seharusnya yang berhak adalah pemakai mitan murni.
3. Kesalahan konsultan distribusi yang hanya membagi paket kompor gas semata-mata untuk memenuhi target dan memepercepat penyelesaian tugas distribusi.

• Sosialisasi dari Pertamina memang harus disempurnakan. Sosialisasi telah dilakukan dengan 2 cara:
1. Above the line, melalui media elektronik (iklan TV, baru ada di MetroTV dan TransTV), kendalanya tidak jelas target sasaran.
2. Below the line, door to door per kelurahan, kendalanya mengandung banyak kelemahan dan banyak yang tidak berjalan sesuai rencana.
Rencana 2008, sosialisasi secara terintegrasi (dimulai Februari 2008) untuk mendapatkan impact yang nyata. Dimulai dengan Training Juru Penerang untuk memberi penyuluhan sampai tingkat kelurahan.

• Angka 1lt mitan = 0,57kg LPG setara energi, merupakan angka teoritis yang digunakan untuk menghitung besaran subsidi dalam APBN, namun pada kenyataannya dapat dicapai antara 0,35-0,4kg. Penghematan subsidi di lapangan dihitung berdasarkan jumlah gas yang diedarkan dan jumlah mitan yang ditarik dari pasaran.

• Penggunaan LPG 3kg rata-rata habis dipakai sekitar 7-10 hari. Perbandingan pemakaian energinya untuk memasak sehari-hari, mitan membutuhkan waktu 2-3 jam sedang LPG hanya 1-2 jam.

• Penggunaan energi di daerah tidak merata karena cukup susah merubah kebiasaan memakai mitan yang telah dirasa nyaman dan harus berganti memakai gas. Dari 6juta target penerima paket kompor gas (sebelumnya direncanakan 10juta target) akan diberlakukan kebijakan konversi secara bertahap, sampai saat ini telah dipasarkan sejumlah 30rb metrik ton gas dan berhasil menghemat 16rb kl mitan yang tidak diedarkan atau ditarik dari pasaran sejak kebijakan konversi berlaku. Sebagai tambahan informasi, Nopember 2007 3% penerima paket kompor melakukan refill gas dan pada Januari 2008 meningkat menjadi 6% yang melakukan refill.

• PT PGN memasarkan produknya kepada industri dan masih berpikir untuk memasarkan pada masyarakat karena pengadaan pipa ke pasar masyarakat cukup rumit. Produk yang dipasarkan PT PGN adalah jenis C1 dan C2 sedang produk Pertamina jenis C3 dan C4.

• Pasokan gas domestik cukup besar (surplus) dan secara global sangat mencukupi kebutuhan dunia bahkan telah ditemukan sumber-sumber baru misalnya di Qatar.

• Daerah sampling yang dipilih berdasarkan informasi dari Divisi Gas Domestik, Pertamina. Daerah tersebut adalah tempat-tempat yang telah mendapatkan pembagian paket kompor gratis. Penggunaan data imajiner sangat dihindari karena hasil yang ingin didapatkan adalah yang berdasarkan fakta di lapangan.

• Pertamina pernah memproduksi tabung ukuran 6kg, namun tabung 6kg tidak mendapat subsidi dari Pemerintah sehingga pertamina harus menanggung biaya subsidinya. Hal tersebut menyebabkan keberadaan tabung LPG 6kg jarang diedarkan di pasaran. Tapi mungkin ke depan, idealnya memang dari sisi marketing Pertamina harus menyediakan gas dalam berbagai ukuran agar konsumen memiliki lebih banyak pilihan penggunaan.

SESI II

1. Herniwati (Tim Peneliti FE-UNDIP)
• Dalam ditribusi minyak tanah, pendapatan agen cukup besar sehingga harga jual ke masyarakat makin tinggi. Untuk memperpendek jalur distribusi, sebaiknya distribusi langsung dari pangkalan agar harga ke masyarakat lebih murah.
• Mahasiswa FE-UNDIP juga telah melakukan penelitan yang serupa dan hasilnya tidak jauh berbeda. Konversi lebih efektif diberlakukan di wilayah perkotaan, dimana rata-rata rumah tangga adalah sebagai pengguna mitan murni, sebaliknya di wilayah pedesaan bila tidak pakai mitan banyak yang menggunakan kayu bakar dan biaya konsumsi mitan digunakan untuk konsumsi makan sehari-hari.
• Target sasaran menghasilkan nilai error cukup besar, sasaran konversi yang tidak menyetujui program konversi tersebut apakah terkait dengan tingkat pendidikan atau pekerjaan mereka? Karena telah dijelaskan sebelumnya bahwa prosentase pendidikan responden yang terbesar adalah SMU/sederajat.
• Hasil studi (8) kurang sesuai dengan kesimpulan no. 4, yaitu dalam hasil studi (8) dijelaskan banyaknya responden yang menyatakan ada sosialiasi yang diberikan sebanyak 71,18%, sedangkan dalam kesimpulan no. 4 dinyatakan sebaliknya.

2. Maklani (PKSI)
• Hasil studi (7a) kolom 5 menunjukkan bahwa konsumsi mitan per daerah berbeda kebiasaan penggunaan mitannya. Disarankan untuk dilakukan survey lanjutan dengan memperbanyak sampel .
• Untuk ke depan keberadaan mitan dan gas harus diwaspadai sampai sejauh mana besar cadangannya, yang mana antara mitan dan gas yang lebih banyak cadangannya.
• Kesetaraan perhitungan mitan dan gas oleh PKBN-BKF menghasilkan angka yang lebih kecil dari Pertamina yaitu 0,385. Artinya dari survei didapatkan hasil bahwa penghematan yang terjadi di lapangan lebih besar daripada yang telah diperhitungkan sebelumnya dari Pertamina.

3. Yudha (PKSI)
Apa perbedaan LPG yang dipakai sebelum dan sesudah konversi?

Jawaban dan Tanggapan

Jawaban dan tanggapan yang diberikan sudah termasuk dalam jawaban dan tanggapan pertanyaan di Sesi I karena pertanyaan banyak yang mirip.
Perbedaan LPG yang dipakai sebelum konversi adalah LPG ukuran 12kg sedangkan setelah konversi adalah 3kg.


[+/-] Selengkapnya...

Senin, 06 April 2009

Pokok-Pokok Perubahan Undang-Undang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan



Dalam diskusi intern ini dibicarakan tentang pokok-pokok perubahan yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan, yaitu:

1. Definisi (Pasal 1), berupa penambahan beberapa definisi di anataranya definisi pajak yang belum pernah ada selama ini di undang-undang perpajakan. Ke depannya diharapkan pengertian pajak tidak lagi memaksa dan pajak itu didefinisikan sebagia utang masyarakat ke negara karena masyarakat telah lebih dahulu menikmati fasilitas yang diberikan negara sejak lahir;

2. Pemberian NPWP dan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak (Pasal 2), berupa penegasan kewajiban perpajakan Wajib Pajak (WP) dan pemberian NPWP untuk wanita kawin tidak pisah harta. Jadi wanita yang semula memiliki NPWP sendiri kemudian menikah maka nantinya NPWP tersebut tidak perlu dihapus dan dijadikan satu dengan suami;

3. Surat Pemberitahuan (Pasal 3), berupa penambahan pelaporan SPT secara elektronik sehingga nantinya tidak perlu lagi mengirim SPT secara manual ke KPP, perubahan batas akhir penyampaian SPT, dan prosedur perpanjangan jangka waktu penyampaian SPT tidak perlu lagi dengan surat permohonan tetapi cukup dengan pemberitahuan;

4. Pembetulan SPT (Pasal 8), berupa perubahan jangka waktu pembetulan SPT untuk memberikan kesempatan fiskus untuk memeriksa, dan sanksi administrasi;

5. Sanksi Administrasi Berupa Denda (Pasal 7), berupa perubahan besar denda keterlambatan penyampaian SPT;

6. Sanksi Administrasi Berupa Kenaikan (Pasal 13A), berupa penegasan sanksi administrasi bagi kealpaan;

7. Pembayaran Pajak (Pasal 9 dan 10), berupa penegasan keabsahan pembayaran pajak (Pasal 10) dan perubahan jangka waktu pelunasan kekurangan pembayaran pajak berdasarkan SPT Tahunan serta pelunasan surat ketetapan pajak bagi WP tertentu;

8. Penyelesaian SPT Lebih Bayar (Pasal 17B), menjadi tertunda bila terhadap WP dilakukan pemeriksaan bukti permulaan;

9. Dasar Penerbitan STP (Pasal 14), berupa beberapa perubahan dasar penerbitan STP dan perubahan sanksi bagi pengusaha non-PKP yang membuat Faktur Pajak menjadi sanksi pidana;

10. Pembetulan Ketetapan Pajak (Pasal 16), berupa perubahan batas akhir penyelesaian pembetulan untuk lebih memberikan kepastian hukum, dan adanya kewajiban Dirjen Pajak memberikan keterangan tertulis mengenai hal yang menjdi dasar untuk menolak atau mengabulkan permohonan WP;

11. Percepatan Restitusi (Pasal 17C dan 17D), sekarang diberikan kepada WP Patuh dan Kriteria Tertentu yang ditetapkan dengan Peraturan Menteri Keuangan;

12. Restitusi PPN Untuk Turis Asing (Pasal 17E), semula belum diatur. Menurut pembicara, hal ini dikarenakan PPN sebagai pajak atas konsumsi dalam negeri, sehingga apabila dikonsumsi untuk di luar negeri oleh turis asing maka PPN yang telah dibayar dapat dimintakan kembali;

13. Daluwarsa Penetapan (Pasal 13) dan Penagihan (Pasal 22), adanya perubahan jangka waktu daluwarsa penetapan dan penagihan menjadi 5 tahun sejak akhir Masa Pajak atau Bagian Tahun Pajak atau Tahun Pajak, untuk lebih memberikan kepastian hukum. Sedang daluwarsa penyimpanan berkas tetap10 tahun;

14. Hak Mendahulu (Pasal 21), diubah menjadi sampai dengan daluwarsa penagihan pajak;

15. Gugatan (Pasal 23), dasar gugatan ditambah Keputusan Pencegahan dalam rangka penagihan pajak dan penerbitan surat ketetapan pajak yang tidak sesuai dengan prosedur;

16. Keberatan (Pasal 25), mengalami beberapa perubahan pada proses keberatan;

17. Banding (Pasal 27), mengalami beberapa perubahan pada proses Bandung;

18. Imbalan Bunga (Pasal 27A), sekarang juga diberikan atas SK Pembetulan, SK Pengurangan, SK Penguranagan dan SK Pembatalan atas surat ketetapan pajak dan Surat Tagihan Pajak, serta SK Keberatan, Putusan Bandung dan Putusan Peninjauan Kembali yang menyebabkan kelebihan pembayaran pajak;

19. Pembukuan atau Pencatatan (Pasal 28), ditambahkan bahwa WP yang melakukan pembukuan secara elektronik atau online wajib menyimpan sofá copy di Indonesia selama 10 tahun;

20. Pemerikasaan (Pasal 29), dalam UU KUP yang baru, terdapat penambahan dan penegasan hak dan kewajiban fiskus dan WP dalam rangka pemeriksaan;

21. Wajib Pajak Go-Public (Pasal 29A), penegasan pemeriksaan terhadap WP Go-Public;

22. Akses Data (Pasal 35A), sekarang pemberian data dari instansi atau pihak lain ke Dirjen Pajak tidak lagi terbatas pada kegiatan pemeriksaan pajak;

23. Pengurangan dan Pembatalan Ketetapan Pajak (Pasal 36), adanya penegasan lebih rinci dasar pengurangan dan pembatalan ketetapan pajak, yaitu berupa surat ketetapan pajak yang tidak benar, STP yang tidak benar, hasil pemeriksaan dan surat ketetapan pajak yang dilaksanakan tidak sesuai prosedur, serta perubahan jangka waktu penyelesaian menjadi paling lama 6 bulan;

24. Pembetulan Ketetapan Pajak (Pasal 16), adanya penambahan dan pemecahan produk hukum yang dapat dibetulkan, perubahan jangka waktu penyelesaian menjadi paling lama 6 bulan, dan pemberian alasan bila permintaan WP ditolak atau dikabulkan sebagian;

25. Sunset Policy (Pasal 37A), adanya insentif bagi WP yang membetulkan SPT Tahunan sebelum tahun pajak 2007, dan WP Orang Pribadi yang sukarela mendaftar untuk mendapat NPWP paling lama satu tahun setelah diberlakukannya UU KUP yang baru;

26. Sanksi Bagi Petugas Pajak (Pasal 36A), diatur lebih khusus, seperti dapat diadukan ke unit internal Depkeu (misalkan IBI), dipidana berdasarkan KUHP, dan dipidana berdasarkan UU Tipikor. Namun petugas pajak juga tidak bisa dituntut secara perdata maupun pidana bila bertugas didasarkan itikad baik dan sesuai dengan peraturan yang berlaku;

27. Kode Etik Petugas Pajak (Pasal 36B), diatur lebih tegas lagi, dengan mewajibkan Pegawai DJP mematuhi Kode Etik, dan adanya Komisi Kode Etik untuk menangani pengaduan pelanggaran Kode Etik;

28. Komite Pengawasan Perpajakan (Pasal 36C), adanya pembentukan Komisi Pengawasan Perpajakan oleh Menteri Keuangan;

29. Sanksi Pidana (Pasal 41A), adanya sanksi pidana bagi pihak yang tidak melaksanakan kewajiban memberikan data dan informasi kepada Ditjen Pajak, termasuk pihak yang menyebabkan tidak terpenuhinya data dan informasi tersebut;
Sanksi Pidana (Pasal 39A), adanya ancaman pidana penjara dan denda bagi penerbit, pengguna, pengedar Faktur Pajak fiktif, dan/atau bukti pemungutan dan/atau bukti pemotongan pajak fiktif (bermasalah);

30. Ketentuan Penyidikan (Pasal 44), diatur secara tegas bahwa yang menyidik hanya Penyidik Pegawai Negeri Sipil di lingkungan Ditjen Pajak, dan penegasan bahwa penyitaan dilakukan terhadap barang bergerak maupun tidak bergerak milik tersangka;

31. Kontruksi Sanksi Pidana, beberapa sanksi pidana di bidang perpajakan dikenakan sanksi minimal dan maksimal;

32. Ketentuan Peralihan, ditegaskan bahwa hak dan kewajiban perpajakan yang belum selesai pada Tahun Pajak 2001 sampai Tahun pajak 2007 diberlakukan UU Nomor 6 Tahun 1983 j.o. UU Nomor 16 Tahun 2000. Dikecualikan dari ketentuan tersebut, daluwarsa penetapan untuk Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak 2007 dan sebelumnya , selain penetapan sebagaimana dimaksud Pasal 13 ayat (5) atau Pasal 15 ayat (4), berakhir paling lama pada akhir Tahun pajak 2013.

[+/-] Selengkapnya...

Perpajakan Transaksi Derivatif



Derivatif adalah sebuah kontrak bilateral atau perjanjian penukaran pembayaran yang nilainya diturunkan atau berasal dari produk yang menjadi "acuan pokok" atau juga disebut " produk turunan" (underlying product) daripada memperdagangkan atau menukarkan secara fisik suatu aset, pelaku pasar membuat suatu perjanjian untuk saling mempertukarkan uang, aset atau suatu nilai disuatu masa yang akan datang dengan mengacu pada aset yang menjadi acuan pokok.

Dua klasifikasi terbesar dari derivatif adalah derivatif berbasis forward (forward-based derivatives) dan derivatif berbasis option (options-based derivatives)

Transaksi Derivatif dapat diartikan sebagai perjanjian penukaran pembayaran yang nilainya tergantung pada – diturunkan dari – nilai aset, tingkat referensi atau indeks

Macam underlaying dalam transaksi derivative antara lain:
i. bunga (interest rate)
ii. kurs tukar (currency)
iii. komoditas (commodity),
iv. ekuitas (equity)
v. indeks (index)

Alasan penggunaan derivatif, antara lain:
i. Peralatan untuk mengelola risiko;
ii. Pencarian untuk hasil yang lebih besar;
iii. Biaya pendanaan yang lebih rendah;
iv. Kebutuhan-kebutuhan yang selalu berubah dan sangat bervariasi dari sekelompok pengguna;
v. Hedging risiko-risiko saat ini dan masa datang;
vi. Mengambil posisi-posisi risiko pasar;
vii. Memanfaatkan ketidakefisienan yang ada di antara pasar-pasar.

Pelaku Transaksi Derivatif:
i. Pengguna Akhir (End Users)
Sebagian besar pengguna akhir derivatif yaitu sekitar 80% adalah perusahaan-perusahaan, disamping badan-badan pemerintah dan sektor publik. Alasan-alasan yang mendorong pengguna akhir menggunakan instrumen derivatif adalah:
1. Untuk sarana lindung nilai (hedging);
2. Memperoleh biaya dana yang lebih rendah;
3. Mempertinggi keuntungan;
4. Untuk mendiversifikasikan sumber-sumber dana;
5. Untuk mencerminkan pandangan-pandangan pasar melalui posisi yang diambil.

ii. Pialang (Dealer)
Terdiri dari lembaga-lembaga keuangan yang bertindak sebagai pialang. Fungsi dari dealer antara lain:
1. Menjaga likuiditas dan terus menerus tersedianya transaksi;
2. Memenuhi permintaan pengguna akhir dengan segera;
3. Memberikan kemampuan untuk mempertinggi likuiditas pasar dan efisiensi harga.

Instrumen Derivatif
Instrumen-instrumen derivatif merupakan persetujuan-persetujuan formal untuk mentransfer risiko dari satu pihak ke pihak lain tanpa harus mentransfer instrumen dasarnya. Instrumen derivatif dapat diartikan pula sebagai instrumen yang nilainya ditentukan oleh aset lain. Aset yang dijadikan dasar transaksi derivatif dapat berupa aset finansial (seperti saham, mata uang, obligasi, suku bunga) dan aset non finansial (barang-barang komoditas seperti karet, kapas,dll)

Derivatif adalah terminologi generik untuk futures, forwards, swaps dan option yaitu instrumen finansial yang merupakan turunan/derivat dari perjanjian dasar (underlying contract) menyangkut efek, mata uang dan komoditi.

2 klasifikasi derivative adalah:
i. derivatif berbasis forward
Derivatif berbasis forward (forward-based-derivatives) meliputi:
a. kontrak futures;
b. kontrak swap.

ii. derivatif berbasis option (option-based-derivatives) meliputi kontrak opsi.

Instrumen derivatif berupa:
i. currency futures;
ii. currency forward;
iii. currency options; dan
iv. currency swap.
mempunyai aset dasar (underlying asset) berupa currency.

Instrumen derivatif berupa:
i. interest rate futures;
ii. interest rate forward;
iii. interest rate options; dan
iv. interest swap.
mempunyai aset dasar (underlying asset) berupa interest rate.

Futures: Suatu kontrak futures merupakan suatu perjanjian yang mewajibkan kedua belah pihak yang melakukan transaksi, yaitu untuk membeli (long position) atau menjual (short position) suatu aset dasar (underlying asset) tertentu yang penyerahannya (delivery) dilakukan di waktu yang akan datang dengan harga yang telah ditetapkan pada saat kontrak..

Forward: Kontrak forward merupakan suatu kontrak atau perjanjian antara dua pihak dengan hak dan kewajiban timbal balik yang direalisasikan/delivery dimasa yang akan datang dengan syarat-syarat yang telah ditentukan pada saat kontrak dibuat.

Swap: Swap contract merupakan transaksi antara dua belah pihak yang sepakat untuk saling menukarkan arus kas (cash flow) di masa yang akan datang berdasarkan suatu kesepakatan tertentu yang ditetapkan pada saat kontrak dibuat. Dua macam swap antara lain yaitu:
i. Interest rate swap
Interest rate swap merupakan inovasi keuangan yang dirancang untuk mengakomodasi para penghutang yang mungkin merasa perlu untuk meminjam dengan syarat-syarat yang bertentangan dengan preferensi mereka. Interest rate swap pada dasarnya merupakan suatu persetujuan antara dua pihak untuk menukarkan pembayaran bunga untuk suatu periode tertentu atas dasar suatu notional value yang disetujui bersama dan dicirikan, sebagai tujuan utamanya, oleh konversi pembayaran bunga tetap (fixed rate) ke dalam pembayaran bunga mengambang (floating rate).
ii. Currency swap
Suatu perjanjian swap juga bisa melibatkan pertukaran valuta-valuta asing. Tujuan utama yang melatarbelakangi currency swap adalah untuk memungkinkan perusahaan-perusahaan mengakses pasar modal dengan biaya yang lebih murah dan/atau untuk meng-hedge exposure terhadap risiko nilai tukar yang timbul dari operasi bisnis internasional.

Option: Option merupakan kontrak yang memberikan hak (bukan kewajiban) kepada pemegang opsi untuk membeli (call option) atau menjual (put option) suatu aset dasar (underlying asset) pada harga tertentu yang telah ditetapkan pada saat kontrak (strike/exercise price) pada atau sebelum tanggal tertentu (expiration date/strike date) atas penyerahan suatu aset dasar.

Terdapat 3 (tiga) pendekatan kapan suatu penghasilan derivatif dikenakan pajak atau kerugian derivatif diperkenankan sebagai pengurang penghasilan kena pajak, yaitu :
i. Prinsip Realisasi (Realization Principle)
ii. Prinsip Harga Pasar (Mark-to-market Principle)
iii. Prinsip Penyesuaian (Matching Principle)

Peraturan-peraturan yang memuat tatacara pemajakan atas transaksi derivatif adalah:
i. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-51/PJ.22/1986 Tentang PPh Atas Deposito Berjangka dalam Mata Uang Asing Milik Orang Pribadi dan PPh Atas Perjanjian Swap
ii. Surat Direktur Jenderal Pajak Nomor S-245/PJ.101/1997 Tentang Penegasan Pemotongan PPh Pasal 26 Atas Transaksi Swap
Sesuai dengan UU Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU Nomor 10 Tahun 1994
iii. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-03/PJ.43/1998 Tentang Perlakuan Perpajakan Penghasilan Bunga (Bunga Deposito) Terhadap Premi Swap dan Forward
iv. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-13/PJ.43/1999 Tentang Perlakuan Perpajakan Atas Stock Option
v. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-12/PJ.313/1993 Tentang Perlakuan Pajak Penghasilan Atas Transaksi Forward Sales Valuta Asing.

[+/-] Selengkapnya...

Template by: Abdul Munir Admin: Clodi